
TANJUNG SELOR – Polemik kenaikan tarif air bersih oleh Perumda Air Minum Danum Benuanta Bulungan yang berlaku sejak Juni 2025 terus menuai kritik.
Komisi Informasi (KI) Kalimantan Utara menilai kebijakan ini minim transparansi, sosialisasi yang terlambat, hingga akar persoalan di tingkat regulasi pusat.
Ketua KI Kaltara, Fajar Mentari, menegaskan bahwa kenaikan tarif dari Rp2.500 menjadi Rp3.500 per meter kubik bukan hanya persoalan persetujuan DPRD, tetapi juga imbas dari aturan Permendagri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum.
“Dalam aturan itu disebutkan apabila struktur biaya PDAM tidak mencapai full cost recovery, maka tarif harus dinaikkan berdasarkan audit BPKP. Persoalan hulu ada di Permendagri 71/2016. Aturan ini tidak adil karena hanya menilai dari struktur biaya, tanpa melihat efisiensi manajemen, misalnya kebocoran pipa (Non Revenue Water/NRW) atau potensi pendapatan dari aset PDAM,” jelas Fajar.
Menurutnya, audit BPKP selama ini hanya fokus pada biaya, bukan kinerja. Akibatnya, masyarakat justru harus menanggung beban kenaikan tarif, sementara PDAM tidak terdorong memperbaiki manajemen.
“Sepanjang PDAM bisa menyetor PAD dan membayar pajak daerah, seharusnya kenaikan tarif bisa ditahan dulu, apalagi di tengah daya beli masyarakat yang menurun,” tegasnya.
Sosialisasi Setelah Tarif Berlaku Fajar juga menyoroti lemahnya komunikasi publik dari PDAM.
Menurutnya, sosialisasi justru dilakukan setelah tarif baru berlaku, sehingga banyak pelanggan kaget dan merasa kebijakan ini diputuskan secara sepihak.
“Penjelasan teknis yang diulang-ulang sulit dipahami masyarakat awam. Dampaknya, publik merasa tidak diajak bicara sejak awal,” ujarnya.
DPRD Dinilai Hanya Jadi Stempel Tak hanya PDAM, Fajar juga mengkritisi peran DPRD Bulungan.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama PDAM dan Komisi II DPRD, ia menilai tidak ada kritik tajam yang muncul.
“DPRD jangan jadi tukang stempel eksekutif. Kenaikan tarif air ini dampaknya langsung ke hajat hidup orang banyak. Idealnya, lembaga pengawas kebijakan publik seperti KI, Ombudsman, atau YLKI ikut dilibatkan dalam pembahasan,” kata Fajar.
Desak Transparansi NRW Lebih jauh, Fajar menekankan pentingnya transparansi data Non Revenue Water (NRW) atau tingkat kehilangan air.
“Tanyakan berapa tingkat kehilangan air mereka tahun 2024. Kalau upaya menurunkan NRW belum dilakukan, berarti manajemen abai. Jangan sampai kinerja yang buruk justru dibebankan ke masyarakat lewat kenaikan tarif,” tegasnya.
Ia mendesak PDAM membuka data NRW tiga hingga lima tahun terakhir, agar publik bisa menilai apakah manajemen sudah bekerja maksimal sebelum menaikkan tarif.“Jika efisiensi internal tidak dijalankan, wajar masyarakat menolak kenaikan ini,” pungkasnya.
Sumber : Wartakaltara.id