IMG_20250910_172515

Kaltaraberkisah.com, Bulungan – Nelayan Desa Salimbatu, Tanjung Selor kembali bersuara lantang pada Rabu, 10 September 2025.

Mereka mengaku semakin menderita akibat maraknya kapal asal Tarakan yang menggunakan alat tangkap terlarang berupa trol dan pukat kuraw di perairan Bulungan.

Alat tangkap tersebut bukan hanya menguras habis hasil laut, tapi juga merusak ekosistem yang menjadi penopang hidup nelayan lokal.

“Kalau kapal trol sudah beroperasi, jangankan ikan besar, ikan kecil pun habis tersapu. Kami hanya bisa pulang dengan jaring kosong,bahkan Di salah satu muara sei bengawang pernah sampai 7 kapal Trawl Beraktifitas Secara Bersama sama” keluh seorang nelayan Salimbatu.

Padahal, aturan hukum sangat jelas melarang praktik ini:

UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan – Pasal 9 ayat (1): dilarang menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan.

Pasal 85 UU Perikanan: pelanggar diancam penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp2 miliar.

Permen KP No. 71 Tahun 2016: tegas melarang pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine nets, termasuk pukat kuraw) di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, di lapangan, aturan tinggal aturan. Nelayan menilai pengawasan lemah dan penindakan minim, sehingga kapal-kapal ilegal itu bebas beroperasi, terutama di malam hari.

“Kalau pemerintah tidak segera bertindak, laut Bulungan akan habis dijarah. Kami nelayan Salimbatu mau hidup dari mana lagi?” tegas nelayan lainnya.

Kondisi ini mencerminkan paradoks: di atas kertas, aturan sudah tegas, bahkan ancaman hukuman berat menanti pelanggar.

Tetapi tanpa langkah konkret, laut Bulungan terancam jadi ladang rampasan, sementara nelayan lokal makin terpuruk. (Chy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *